Tafsir QS. Al-Baqarah : 119
Label: Al-Qur'an
"Innaa arsalnaaka bil haqqi basyiiran wa nadziiran walaa tus-alu 'an ash-haabil jahiim" (Sesungguhnya Kami telah mengutus engkau (Muhammad) dengan kebenaran sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan engkau tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang penghuni-penghuni neraka) (QS. Al Baqarah, 2:119).
Pada awal ayat ini Allah SWT menegaskan dengan menyatakan: (Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran). Pada ayat ini Allah SWT menyebut diri-Nya dengan kata, "Inna" (Kami). Ayat yang senada banyak sekali ketika Allah SWT menyebut diri-Nya dengan kata, "Kami", selain itu pula terkadang Allah menyebut diri-Nya dengan kata, "Inni"(Aku).
Perlu digarisbawahi bahwa ketika Allah menyebutkan Dzat-Nya dengan kata, "Kami", pertama, biasanya menunjukkan pada perbuatan Allah yang terjadi "tidak hanya" mewakili salah satu sifat Allah, tetapi mewakili seluruh sifat-sifat Allah. Kedua, digunakan kata, "Kami" biasanya ketika perbuatan Allah itu melibatkan makhluk-Nya walaupun si makhluk tersebut mampu berbuat karena kemampuan yang diberikan Allah, hal ini merupakan penghargaan Allah terhadap makhluk. Ketika dalam penciptaan langit dan bumi, Allah menyatakan dirinya dengan kata, "Aku", karena makhluk tidak ikut berperan. Tetapi ketika Allah berbicara perihal kesembuhan atau rezeki, maka Allah menyebutkan dirinya dengan kata, "Kami", karena ketika seseorang sembuh dari sakit ada keterlibatan makhluk (Dokter) atau sampainya rezeki di tangan seseorang juga melibatkan makhluk yang hakikatnya baik kesembuhan maupun rezeki semua datang dari Allah.
Dalam QS. Al Hijr ayat 9 dinyatakan: "Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al Qur'an dan Sesungguhnya Kami memeliharanya". Turunnya Al Qur'an tentu telah mencakup sifat Allah Yang Maha Sempurna dan juga melibatkan makhluk-Nya yakni Malaikat Jibril hingga Al Qur'an (Wahyu) bisa sampai kepada Rasul Saw. Tetapi jika Allah berbicara tentang Dzat-Nya, perihal bagaimana manusia seharusnya beribadah kepada-Nya, maka Allah selalu menyebutkan diri-Nya dengan kata, "Aku". Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku dan dirikan shalat untuk mengingat-Ku" (QS. Thaahaa, 20:14). Demikian pula, ketika Allah pertama kali menciptakan manusia pertama, Adam, maka Allah menyebutkan diri-Nya dengan kata, "Aku" (QS.Al Baqarah, 2:30) karena belum ada peran makhluk, tetapi ketika Allah menciptakan anak keturunan Adam, maka Allah menyebutkan diri-Nya dengan kata, "Kami" (QS. Al Mu'minuun, 23:12-14) karena telah ada peran makhluk-Nya yakni suami-istri.
Pernyataan ayat 119 QS. Al Baqarah ini merupakan sebuah penegasan dari Allah SWT yang telah menetapkan Muhammad sebagai Rasul pembawa kebenaran yang mutlak yakni turunnya risalah Islam lewat Al Qur'an yang kebenarannya mutlak berlaku hingga akhir zaman. Ketika kita berhadapan dengan kebenaran yang mutlak, maka kita harus yakin. Jika dalam diri seseorang masih saja ada pertanyaan "mengapa", berarti dia masih tidak yakin.
Dalam lanjutan ayat dinyatakan: "Basyiiran wa nadziiran" (Kabar gembira dan peringatan). Rasulullah Saw bertugas membawa kebenaran (Al Qur'an) yang isi dari kebenaran tersebut berupa "berita". Adapun beritanya bisa berupa yang menyenangkan (Basyiira) dan bisa juga berita yang tidak menyenangkan (Nadziira). Bagi orang-orang yang mengimani Allah dan risalah-Nya serta menjalankan risalah-Nya dalam kehidupannya maka dia berhak untuk disenangkan oleh Allah dengan berita-berita yang menyenangkan. Sedangkan bagi orang-orang yang kafir juga mendapatkan berita yakni tentang kehidupan mereka di neraka. Setelah manusia mendapatkan berita tersebut, maka terserah manusia untuk memilihnya. Rasul hanya bertugas menyampaikan berita tersebut.
Maka pada penghujung ayat dinyatakan: "Walaa tus-alu 'an ash-haabil jahiim" (Dan engkau (Muhammad) tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang penghuni-penghuni neraka). Allah SWT pada ayat ini mengingatkan Rasul Saw bahwa setelah menyampaikan kepada manusia tentang berita tersebut, maka selesailah tugas Rasul Saw. Beliau tidak akan dituntut oleh sebab orang-orang yang tidak mau mengikuti ajakannya. Pada ayat lain pun Rasul diingatkan : "Maka boleh jadi engkau (Muhammad) membinasakan dirimu karena dukacita atas kelakuan mereka jika mereka tidak beriman dengan Al Qur'an ini" (QS. Al- Kahfi, 18:6). Juga dalam firman-Nya: "Tidaklah kewajiban atasmu menjadikan mereka mendapat petunjuk akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki" (QS. Al Baqarah, 2:272). Dan dalam firman-Nya pula: "Boleh jadi engkau (Muhammad) hendak membinasakan dirimu (karena mereka tidak beriman), jika Kami menghendaki, niscaya Kami turunkan kepada mereka suatu ayat dari langit, makajadilah tengkuk-tengkuk mereka tunduk kepadanya" (QS. Asy Syu'araa, 26:3-4). Dimaksudkan jika Allah menghendaki maka dapat saja Allah menjadikan manusia itu semua beriman dengan terpaksa, yang dikehendaki Allah SWT adalah manusia beriman atas kesadarannya sendiri tanpa ada paksaan (QS.Al Baqarah, 2:256).
Pada ayat selanjutnya dinyatakan: "Walan tardhaa 'ankal yahuudu wa-lan nashaaraa hattaa tattabi'a millatahum qul inna hudallaahi huwal hudaa wa la init taba'ta ahwaa-ahum ba'dal ladzii jaa-aka minal 'ilmi maa laka minallaahi miw waliyyiw wa laa nashiir" (Tidak akan pernah ridha terhadapmu (Muhammad) orang-orang Yahudi dan juga "tidak pula" orang-orang Nashara sampai kamu mengikuti keyakinan atau ajaran mereka. Katakanlah, sesungguhnya hidayah atau petunjuk Allah ialah yang sebenar-benarnya petunjuk. Jika kamu mengikuti hawa-hawa nafsu mereka setelah datang ilmu pengetahuan kepadamu, maka tidak ada hak bagimu menjadikan Allah sebagai pelindung dan penolong bagimu" (QS. Al Baqarah, 2:120).
Sebab turunnya ayat ini, diriwayatkan bahwa saat itu orang-orang Yahudi sering mendatangi Rasulullah Saw dengan ungkapan : "Berilah kami petunjuk tentang ajaran yang kamu bawa wahai Muhammad, sehingga dengan petunjuk atau keterangan darimu, kami akan mempertimbangkan apakah kami nanti akan beriman atau tidak". Hanya Allah Yang Maha Mengetahui isi hati mereka, maka turunlah ayat ini untuk mengingatkan Nabi Muhammad Saw bahwa sesungguhnya kedatangan mereka itu tiada lain kecuali berkehendak hanya ingin bersendau-gurau atau mempermainkan saja. Mereka "tidak akan pernah" rela, ikhlas atau ridha kecuali kalau Nabi Muhammad Saw mau meyakini apa yang menjadi keyakinan mereka. Jadi, tidak ada istilah mereka bermaksud untuk mencari kebenaran, maka Allah SWT mengingatkan, "hattaa tattabi'a millatahum" (Sampai kamu sendiri mengikuti aturan atau pedoman hidup mereka).
Jika ayat ini kita cermati, paling tidak, ada "dua" kali pengulangan kata nafi, "la". Penafikan pertama adalah pada kata, "wa lan tardhaa 'ankal yahuudu" (Tidak akan pernah ridha kepadamu (Muhammad) orang-orang Yahudi). Sedangkan penafian kedua adalah pada kata, "wa lan nashaaraa" (Dan "tidak pula" orang-orang Nashara). Menurut kaidah bahasa, sebenarnya cukup saja dikatakan dengan "wau" (dan) tanpa harus ada pengulangan kata nafi, "la". Sehingga ayatnya akan berbunyi, "wa lan tardhaa 'ankal yahuudu wa nashaaraa" (Tidak akan pernah ridha kepadamu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashara). Tapi, dengan pengulangan kata nafi, "la", maka ayatnya berbunyi, "Tidak akan pernah ridha kepadamu orang-orang Yahudi dan "tidak pula" orang-orang Nashara".
Pertanyaannya, kenapa harus ada kata, "tidak pula", apakah tidak cukup dengan kata "wau" (dan) saja ? Sebab, kalau tidak memakai kata, la, lantas cukup dengan kata, wau (dan) maka akan bermakna lain. Sedangkan kata, 'dan', itu biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kalimat yang berikutnya itu sama dengan atau mengikuti kalimat yang disebut sebelumnya. Padahal tidak ridhanya orang-orang Yahudi belum tentu sama dengan tidak ridhanya orang-orang Nashara. Sangat dimungkinkan pada suatu ketika yang satu ridha dan yang satu lagi tidak ridha dalam satu hal atau kedua-duanya sama-sama tidak ridha atau sama-sama tidak senang. Dalam bentuk ketidakridhaannya pun bisa berbeda-beda, karena itu perlu penegasan dengan 'dua' kali penafian, baik terhadap orang Yahudi yang tidak ridha maupun juga terhadap orang Nashara yang sama-sama tidak akan ridha pula.
Memang, terkadang orang Yahudi dan Nashara bisa saja satu suara dalam menghadapi orang Islam, tapi terkadang pula timbul pertentangan di antara mereka. "Dan orang-orang Yahudi berkata: 'Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan', dan orang Nasrani berkata: 'Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan, padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab" (QS. Al Baqarah, 2 : 113). Di sini akhirnya di antara mereka memang saling tuduh, tapi tatkala mereka menghadapi Islam ternyata mereka bisa satu irama. Karenanya, Allah SWT kemudian mengingatkan dengan menyebut "dua" kali kata nafi, "la". Ini dimaksudkan untuk meyakinkan kepada kita bahwa kedua-duanya akan sama-sama, walaupun bentuknya sangat mungkin berbeda dalam ketidakridhaannya. Demikian pula, Allah SWT mengingatkan kita bahwa ridha atau senangnya mereka hanya satu yaitu ketika kita mengikuti apa yang menjadi millah atau kecenderungan mereka. Inilah watak asli mereka.
Dalam lanjutan ayat, Allah SWT memberikan petunjuk kepada Rasulullah Saw untuk mengatakan kepada mereka, "Qul" (Katakanlah) wahai Muhammad kepada mereka, "Inna hudallaahi huwal hudaa" (Sesungguhnya petunjuk Allah itu adalah petunjuk yang sebenarnya). Arti di balik pernyataan ini adalah bahwa semua selain Islam yang telah disampaikan oleh Rasulullah Saw tersebut bukanlah petunjuk dari Allah. Ini merupakan sebuah jawaban sekaligus penegasan yang menunjukkan bahwa apa yang disampaikan dan diyakini oleh Rasulullah Saw dan diajarkan kepada ummatnya itulah petunjuk dari Allah. Artinya, selain itu bukanlah petunjuk dari Allah.
Pertanyaannya, lantas apa yang disebut dengan hudan atau hidayah itu ? Hidayah adalah sesuatu yang membuat seseorang bisa mencapai tujuan dengan menempuh jalan sesingkat mungkin. Dan, itulah yang dimaksud dengan "shiraathal mustaqiim" (Jalan yang lurus). Yakni jalan yang mengantarkan kita secara cepat untuk bisa mencapai tujuan. Memang, tidak menutup kemungkinan masih banyak jalan-jalan lain yang diyakini oleh manusia, tetapi itu bukanlah "hudallaah". Di sini lebih jelas lagi, kenapa Rasulullah Saw harus mengatakan, "inna hudallaahi wal huda". Apakah yang bukan hudallah itu bukan hudan ? Tetapi yang betul-betul hudan itu adalah hanyalah hudallah, yakni hidayah yang datang dari Allah. Dialah yang akan bisa mengantarkan seseorang untuk mencapai tujuan. Artinya petunjuk-petunjuk yang lain itu tidak akan pernah bisa mengantarkan seseorang untuk bisa mencapai tujuan. Seorang mu'min mesti meyakini bahwa petunjuk yang bisa mengantarkan seseorang kepada tujuannya itu harus petunjuk dari Allah.
Dalam lanjutan ayat, kembali Allah SWT memperingatkan kita dengan menyatakan, "wa la init ta-ba'ta ahwaa-ahum" (Seandainya kamu mengikuti hawa-hawa nafsu mereka). Pernyataan ini bermakna, Allah SWT menunjukkan kepada kita bahwa "millah" atau kecenderungan atau pedoman hidup yang mereka yakini sebagai ajaran atau keyakinan itu sebenarnya berisi hawa-hawa nafsu mereka. Kata, "hawa", dalam Islam yang dalam bahasa Arab didefinisikan sebagai sesuatu yang diinginkan oleh jiwa atau diri seseorang secara bathil, tidak benar atau jauh dari kebenaran. Maka, dalam konteks ayat ini jelaslah bagi kita bahwa batillah semua "millah" atau jalan, baik jalan yang ada di dalam Yahudi maupun Nasrani setelah datang kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Pada penghujung ayat, Allah SWT memberikan peringatan keras kepada kita, bahwa jika kita masih mau mengikuti hawa-hawa nafsu mereka, maka tidak ada hak bagi kita menjadikan Allah sebagai pelindung dan penolong kita. Peringatan keras ini hendaknya menjadikan diri kita senantiasa berhati-hati atau waspada dalam mengarungi kehidupan ini, khususnya dalam menghadapi segala tipu daya Yahudi dan Nashara yang akan mengajak kita ke arah kecenderungan hawa-hawa nafsu mereka sehingga kita menjadi orang yang rugi.
Sebuah hikmah tentunya bisa kita petik, bahwa sebab turunnya ayat ini diawali oleh kehendak atau keinginan orang-orang Yahudi untuk berdialog dengan Nabi. Walaupun dialog tersebut tertuju kepada Nabi Muhammad, tentunya hal ini dimaksudkan sebagai peringatan kepada kita sebagai ummatnya. Bahwa dialog dalam bentuk apa pun yang dikehendaki mereka, pada umumnya akhirnya mereka tidak akan pernah rela atau ridha juga kecuali kita harus mau mengikuti hawa-hawa nafsu mereka.
Sebuah keniscayaan pula tentunya bagi kita, bahwa tidaklah cukup aman atau selamat bagi kehidupan dunia dan akhirat kita manakala kita tidak mau membuka selimut kepedulian kita untuk membela saudara-saudara kita dari ancaman pemurtadan yang dilancarkan oleh Yahudi dan Nashara. Kini, tiba saatnya bagi kita untuk berjuang, berkorban, berjihad di jalan Allah untuk bersama-sama dalam satu barisan yang rapi untuk melawan musuh-musuh Allah. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah dan 'inayah-Nya kepada kita sekalian.
Wallaahu a'lamu bish-shawaab.
Demikian mudah-mudahan bermanfaat. Amiin.
Subhaanaka Allaahumma wabihamdika asyhadu an-laa ilaaha illaa Anta, astaghfiruka waatuubu ilaika.
Pada awal ayat ini Allah SWT menegaskan dengan menyatakan: (Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran). Pada ayat ini Allah SWT menyebut diri-Nya dengan kata, "Inna" (Kami). Ayat yang senada banyak sekali ketika Allah SWT menyebut diri-Nya dengan kata, "Kami", selain itu pula terkadang Allah menyebut diri-Nya dengan kata, "Inni"(Aku).
Perlu digarisbawahi bahwa ketika Allah menyebutkan Dzat-Nya dengan kata, "Kami", pertama, biasanya menunjukkan pada perbuatan Allah yang terjadi "tidak hanya" mewakili salah satu sifat Allah, tetapi mewakili seluruh sifat-sifat Allah. Kedua, digunakan kata, "Kami" biasanya ketika perbuatan Allah itu melibatkan makhluk-Nya walaupun si makhluk tersebut mampu berbuat karena kemampuan yang diberikan Allah, hal ini merupakan penghargaan Allah terhadap makhluk. Ketika dalam penciptaan langit dan bumi, Allah menyatakan dirinya dengan kata, "Aku", karena makhluk tidak ikut berperan. Tetapi ketika Allah berbicara perihal kesembuhan atau rezeki, maka Allah menyebutkan dirinya dengan kata, "Kami", karena ketika seseorang sembuh dari sakit ada keterlibatan makhluk (Dokter) atau sampainya rezeki di tangan seseorang juga melibatkan makhluk yang hakikatnya baik kesembuhan maupun rezeki semua datang dari Allah.
Dalam QS. Al Hijr ayat 9 dinyatakan: "Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al Qur'an dan Sesungguhnya Kami memeliharanya". Turunnya Al Qur'an tentu telah mencakup sifat Allah Yang Maha Sempurna dan juga melibatkan makhluk-Nya yakni Malaikat Jibril hingga Al Qur'an (Wahyu) bisa sampai kepada Rasul Saw. Tetapi jika Allah berbicara tentang Dzat-Nya, perihal bagaimana manusia seharusnya beribadah kepada-Nya, maka Allah selalu menyebutkan diri-Nya dengan kata, "Aku". Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku dan dirikan shalat untuk mengingat-Ku" (QS. Thaahaa, 20:14). Demikian pula, ketika Allah pertama kali menciptakan manusia pertama, Adam, maka Allah menyebutkan diri-Nya dengan kata, "Aku" (QS.Al Baqarah, 2:30) karena belum ada peran makhluk, tetapi ketika Allah menciptakan anak keturunan Adam, maka Allah menyebutkan diri-Nya dengan kata, "Kami" (QS. Al Mu'minuun, 23:12-14) karena telah ada peran makhluk-Nya yakni suami-istri.
Pernyataan ayat 119 QS. Al Baqarah ini merupakan sebuah penegasan dari Allah SWT yang telah menetapkan Muhammad sebagai Rasul pembawa kebenaran yang mutlak yakni turunnya risalah Islam lewat Al Qur'an yang kebenarannya mutlak berlaku hingga akhir zaman. Ketika kita berhadapan dengan kebenaran yang mutlak, maka kita harus yakin. Jika dalam diri seseorang masih saja ada pertanyaan "mengapa", berarti dia masih tidak yakin.
Dalam lanjutan ayat dinyatakan: "Basyiiran wa nadziiran" (Kabar gembira dan peringatan). Rasulullah Saw bertugas membawa kebenaran (Al Qur'an) yang isi dari kebenaran tersebut berupa "berita". Adapun beritanya bisa berupa yang menyenangkan (Basyiira) dan bisa juga berita yang tidak menyenangkan (Nadziira). Bagi orang-orang yang mengimani Allah dan risalah-Nya serta menjalankan risalah-Nya dalam kehidupannya maka dia berhak untuk disenangkan oleh Allah dengan berita-berita yang menyenangkan. Sedangkan bagi orang-orang yang kafir juga mendapatkan berita yakni tentang kehidupan mereka di neraka. Setelah manusia mendapatkan berita tersebut, maka terserah manusia untuk memilihnya. Rasul hanya bertugas menyampaikan berita tersebut.
Maka pada penghujung ayat dinyatakan: "Walaa tus-alu 'an ash-haabil jahiim" (Dan engkau (Muhammad) tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang penghuni-penghuni neraka). Allah SWT pada ayat ini mengingatkan Rasul Saw bahwa setelah menyampaikan kepada manusia tentang berita tersebut, maka selesailah tugas Rasul Saw. Beliau tidak akan dituntut oleh sebab orang-orang yang tidak mau mengikuti ajakannya. Pada ayat lain pun Rasul diingatkan : "Maka boleh jadi engkau (Muhammad) membinasakan dirimu karena dukacita atas kelakuan mereka jika mereka tidak beriman dengan Al Qur'an ini" (QS. Al- Kahfi, 18:6). Juga dalam firman-Nya: "Tidaklah kewajiban atasmu menjadikan mereka mendapat petunjuk akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki" (QS. Al Baqarah, 2:272). Dan dalam firman-Nya pula: "Boleh jadi engkau (Muhammad) hendak membinasakan dirimu (karena mereka tidak beriman), jika Kami menghendaki, niscaya Kami turunkan kepada mereka suatu ayat dari langit, makajadilah tengkuk-tengkuk mereka tunduk kepadanya" (QS. Asy Syu'araa, 26:3-4). Dimaksudkan jika Allah menghendaki maka dapat saja Allah menjadikan manusia itu semua beriman dengan terpaksa, yang dikehendaki Allah SWT adalah manusia beriman atas kesadarannya sendiri tanpa ada paksaan (QS.Al Baqarah, 2:256).
Pada ayat selanjutnya dinyatakan: "Walan tardhaa 'ankal yahuudu wa-lan nashaaraa hattaa tattabi'a millatahum qul inna hudallaahi huwal hudaa wa la init taba'ta ahwaa-ahum ba'dal ladzii jaa-aka minal 'ilmi maa laka minallaahi miw waliyyiw wa laa nashiir" (Tidak akan pernah ridha terhadapmu (Muhammad) orang-orang Yahudi dan juga "tidak pula" orang-orang Nashara sampai kamu mengikuti keyakinan atau ajaran mereka. Katakanlah, sesungguhnya hidayah atau petunjuk Allah ialah yang sebenar-benarnya petunjuk. Jika kamu mengikuti hawa-hawa nafsu mereka setelah datang ilmu pengetahuan kepadamu, maka tidak ada hak bagimu menjadikan Allah sebagai pelindung dan penolong bagimu" (QS. Al Baqarah, 2:120).
Sebab turunnya ayat ini, diriwayatkan bahwa saat itu orang-orang Yahudi sering mendatangi Rasulullah Saw dengan ungkapan : "Berilah kami petunjuk tentang ajaran yang kamu bawa wahai Muhammad, sehingga dengan petunjuk atau keterangan darimu, kami akan mempertimbangkan apakah kami nanti akan beriman atau tidak". Hanya Allah Yang Maha Mengetahui isi hati mereka, maka turunlah ayat ini untuk mengingatkan Nabi Muhammad Saw bahwa sesungguhnya kedatangan mereka itu tiada lain kecuali berkehendak hanya ingin bersendau-gurau atau mempermainkan saja. Mereka "tidak akan pernah" rela, ikhlas atau ridha kecuali kalau Nabi Muhammad Saw mau meyakini apa yang menjadi keyakinan mereka. Jadi, tidak ada istilah mereka bermaksud untuk mencari kebenaran, maka Allah SWT mengingatkan, "hattaa tattabi'a millatahum" (Sampai kamu sendiri mengikuti aturan atau pedoman hidup mereka).
Jika ayat ini kita cermati, paling tidak, ada "dua" kali pengulangan kata nafi, "la". Penafikan pertama adalah pada kata, "wa lan tardhaa 'ankal yahuudu" (Tidak akan pernah ridha kepadamu (Muhammad) orang-orang Yahudi). Sedangkan penafian kedua adalah pada kata, "wa lan nashaaraa" (Dan "tidak pula" orang-orang Nashara). Menurut kaidah bahasa, sebenarnya cukup saja dikatakan dengan "wau" (dan) tanpa harus ada pengulangan kata nafi, "la". Sehingga ayatnya akan berbunyi, "wa lan tardhaa 'ankal yahuudu wa nashaaraa" (Tidak akan pernah ridha kepadamu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashara). Tapi, dengan pengulangan kata nafi, "la", maka ayatnya berbunyi, "Tidak akan pernah ridha kepadamu orang-orang Yahudi dan "tidak pula" orang-orang Nashara".
Pertanyaannya, kenapa harus ada kata, "tidak pula", apakah tidak cukup dengan kata "wau" (dan) saja ? Sebab, kalau tidak memakai kata, la, lantas cukup dengan kata, wau (dan) maka akan bermakna lain. Sedangkan kata, 'dan', itu biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kalimat yang berikutnya itu sama dengan atau mengikuti kalimat yang disebut sebelumnya. Padahal tidak ridhanya orang-orang Yahudi belum tentu sama dengan tidak ridhanya orang-orang Nashara. Sangat dimungkinkan pada suatu ketika yang satu ridha dan yang satu lagi tidak ridha dalam satu hal atau kedua-duanya sama-sama tidak ridha atau sama-sama tidak senang. Dalam bentuk ketidakridhaannya pun bisa berbeda-beda, karena itu perlu penegasan dengan 'dua' kali penafian, baik terhadap orang Yahudi yang tidak ridha maupun juga terhadap orang Nashara yang sama-sama tidak akan ridha pula.
Memang, terkadang orang Yahudi dan Nashara bisa saja satu suara dalam menghadapi orang Islam, tapi terkadang pula timbul pertentangan di antara mereka. "Dan orang-orang Yahudi berkata: 'Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan', dan orang Nasrani berkata: 'Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan, padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab" (QS. Al Baqarah, 2 : 113). Di sini akhirnya di antara mereka memang saling tuduh, tapi tatkala mereka menghadapi Islam ternyata mereka bisa satu irama. Karenanya, Allah SWT kemudian mengingatkan dengan menyebut "dua" kali kata nafi, "la". Ini dimaksudkan untuk meyakinkan kepada kita bahwa kedua-duanya akan sama-sama, walaupun bentuknya sangat mungkin berbeda dalam ketidakridhaannya. Demikian pula, Allah SWT mengingatkan kita bahwa ridha atau senangnya mereka hanya satu yaitu ketika kita mengikuti apa yang menjadi millah atau kecenderungan mereka. Inilah watak asli mereka.
Dalam lanjutan ayat, Allah SWT memberikan petunjuk kepada Rasulullah Saw untuk mengatakan kepada mereka, "Qul" (Katakanlah) wahai Muhammad kepada mereka, "Inna hudallaahi huwal hudaa" (Sesungguhnya petunjuk Allah itu adalah petunjuk yang sebenarnya). Arti di balik pernyataan ini adalah bahwa semua selain Islam yang telah disampaikan oleh Rasulullah Saw tersebut bukanlah petunjuk dari Allah. Ini merupakan sebuah jawaban sekaligus penegasan yang menunjukkan bahwa apa yang disampaikan dan diyakini oleh Rasulullah Saw dan diajarkan kepada ummatnya itulah petunjuk dari Allah. Artinya, selain itu bukanlah petunjuk dari Allah.
Pertanyaannya, lantas apa yang disebut dengan hudan atau hidayah itu ? Hidayah adalah sesuatu yang membuat seseorang bisa mencapai tujuan dengan menempuh jalan sesingkat mungkin. Dan, itulah yang dimaksud dengan "shiraathal mustaqiim" (Jalan yang lurus). Yakni jalan yang mengantarkan kita secara cepat untuk bisa mencapai tujuan. Memang, tidak menutup kemungkinan masih banyak jalan-jalan lain yang diyakini oleh manusia, tetapi itu bukanlah "hudallaah". Di sini lebih jelas lagi, kenapa Rasulullah Saw harus mengatakan, "inna hudallaahi wal huda". Apakah yang bukan hudallah itu bukan hudan ? Tetapi yang betul-betul hudan itu adalah hanyalah hudallah, yakni hidayah yang datang dari Allah. Dialah yang akan bisa mengantarkan seseorang untuk mencapai tujuan. Artinya petunjuk-petunjuk yang lain itu tidak akan pernah bisa mengantarkan seseorang untuk bisa mencapai tujuan. Seorang mu'min mesti meyakini bahwa petunjuk yang bisa mengantarkan seseorang kepada tujuannya itu harus petunjuk dari Allah.
Dalam lanjutan ayat, kembali Allah SWT memperingatkan kita dengan menyatakan, "wa la init ta-ba'ta ahwaa-ahum" (Seandainya kamu mengikuti hawa-hawa nafsu mereka). Pernyataan ini bermakna, Allah SWT menunjukkan kepada kita bahwa "millah" atau kecenderungan atau pedoman hidup yang mereka yakini sebagai ajaran atau keyakinan itu sebenarnya berisi hawa-hawa nafsu mereka. Kata, "hawa", dalam Islam yang dalam bahasa Arab didefinisikan sebagai sesuatu yang diinginkan oleh jiwa atau diri seseorang secara bathil, tidak benar atau jauh dari kebenaran. Maka, dalam konteks ayat ini jelaslah bagi kita bahwa batillah semua "millah" atau jalan, baik jalan yang ada di dalam Yahudi maupun Nasrani setelah datang kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Pada penghujung ayat, Allah SWT memberikan peringatan keras kepada kita, bahwa jika kita masih mau mengikuti hawa-hawa nafsu mereka, maka tidak ada hak bagi kita menjadikan Allah sebagai pelindung dan penolong kita. Peringatan keras ini hendaknya menjadikan diri kita senantiasa berhati-hati atau waspada dalam mengarungi kehidupan ini, khususnya dalam menghadapi segala tipu daya Yahudi dan Nashara yang akan mengajak kita ke arah kecenderungan hawa-hawa nafsu mereka sehingga kita menjadi orang yang rugi.
Sebuah hikmah tentunya bisa kita petik, bahwa sebab turunnya ayat ini diawali oleh kehendak atau keinginan orang-orang Yahudi untuk berdialog dengan Nabi. Walaupun dialog tersebut tertuju kepada Nabi Muhammad, tentunya hal ini dimaksudkan sebagai peringatan kepada kita sebagai ummatnya. Bahwa dialog dalam bentuk apa pun yang dikehendaki mereka, pada umumnya akhirnya mereka tidak akan pernah rela atau ridha juga kecuali kita harus mau mengikuti hawa-hawa nafsu mereka.
Sebuah keniscayaan pula tentunya bagi kita, bahwa tidaklah cukup aman atau selamat bagi kehidupan dunia dan akhirat kita manakala kita tidak mau membuka selimut kepedulian kita untuk membela saudara-saudara kita dari ancaman pemurtadan yang dilancarkan oleh Yahudi dan Nashara. Kini, tiba saatnya bagi kita untuk berjuang, berkorban, berjihad di jalan Allah untuk bersama-sama dalam satu barisan yang rapi untuk melawan musuh-musuh Allah. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah dan 'inayah-Nya kepada kita sekalian.
Wallaahu a'lamu bish-shawaab.
Demikian mudah-mudahan bermanfaat. Amiin.
Subhaanaka Allaahumma wabihamdika asyhadu an-laa ilaaha illaa Anta, astaghfiruka waatuubu ilaika.
0 Response to "Tafsir QS. Al-Baqarah : 119"
Posting Komentar